haus ilmu
Jumat, 24 Mei 2019
Assalamualikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dalam pergaulan didalam keluarga, dalam masyarakat sosok Rasulullah SAW yang kita cintai dapat menjadi rujukan terbaik bagi kita dalam bertindak, bertutur kata dan bertingkah laku. Terutama kala menghadapi seseorang teman atau sahabat yang membuat kita tertawa maupun juga yang suka iseng terhadap kita yang bisa jadi malah membuat kita marah kepadanya.
Rasulullah SAW pun pernah diisengi oleh sahabat beliau, bukan saja sekali tetapi kadang diulanginya di kesempatan lain. Nuaiman, yach itulah sahabat Rasulullah SAW yang pandai berkelakar serta menjahili Beliau dalam beberapa kesempatan.
Suatu ketika, Nuaiman membeli madu dari seorang Badui. Tanpa membayarnya, Nuaiman mengajak orang Badui tadi menghadap Rasulullah SAW dan menyerahkan madu tersebut kepada Beliau sebagai tanda hadiah, dan tanpa sepengetahuan Rasulullah SAW dan orang lain yang hadir Nuaiman berkatan kepada orang Badui tadi, “Mintalah bayarannya dari sini,”
Rasulullah SAW pun senang dengan hadiah pemberian Nuaiman dan kemudian membagikannya kepada yang hadir sampai habis. Sedangkan Orang Badui masih menunggu pembayaran madu yang dibeli Nuaiman namun hal tersebut tak kunjung diterimanya hingga akhirnya dia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW.
“Apa maduku tidak akan dibayar,” tanya orang Badui tadi kepada Rasulullah SAW
Mendengar pertanyaannya, Rasulullah SAW pun tersadar dan tak ada yang berani melakukan ini kecuali Nuaiman. Kemudian Rasulullah SAW menghampiri Nuaiman dan bertanya mengapa dia melakukan ini semua.
“Aku ingin berbuat baik kepadamu, tetapi aku tidak memiliki apa-apa,” jawab Nuaiman
Rasulullah SAW hanya tertawa mendengar jawaban Nuaiman dan langsung membayar madu tersebut kepada orang Badui tadi yang memang sudah habis dibagikan.
Kemudian dilain waktu, Nuaiman kembali menjahili Rasulullah SAW dan kali ini seorang Badui datang untuk bertemu dengan Rasulullah SAW dengan mengendarai onta yang tambatkan dihalam mesjid. Lalu beberapa sahabat yang ada dimesjid mengajukan usul kepada Nuaiman.
“Kalau kau mau menyembelih unta Badui ini, maka kita akan makan-makan. Kapan lagi kita makan daging bila tidak ada daging unta ini. Nanti Nabi yang akan menanggung harganya,”
Dasar Nuaiman yang memang memiliki sifat usil dan iseng, dia langsung menyembelih unta tersebut. Dan saat Badui tadi mau pulang betapa terkejut dirinya mendapatkan untanya sudah disembelih. Rasulullah SAW pun langsung bertanya kepada sahabat siapa yang melakukan ini, para sahabat pun serempak menjawab Nuaiman.
Lalu Rasulullah SAW mencari Nuaiman yang ternyata bersembunyi disebuah lubang yang ada dirumah Dhuba’ah binti Zubair, Rasulullah SAW yang menemukannya langsung menyuruh Nuaiman untuk keluar yang wajahnya penuh dengan debu.
“Apa yang mendorongmu melakukan perbuatan ini?” tanya Rasulullah SAW kepada Nuaiman
“Aku disuruh oleh orang-orang yang menunjukkan tempat persembunyianku ini,” jawab Nuaiman dengan polosnya
Rasulullah SAW langsung menghampiri Nuaiman dan membersihkan wajahnya yang dipenuhi debu sambil tertawa. Dan kali ini, Rasulullah SAW kembali terkena keisengan Nuaiman dan harus menanggung harga unta yang telah disembelihnya tersebut.
Nuaiman terkenal dengan keisengan dan gurauannya dikalangan pria, ada juga wanita yang terkenal lucu dan mampu membuat tertawa seisi rumah Rasulullah SAW yakni Suwaida’. Dan ketika mendapat kabar Suwaida’ sedang sakit, Rasulullah SAW langsung menjenguknya.
Dan ketika mendapatkan kabar Suwaida’ telah meninggal dunia, Rasulullah SAW turut menyalatkan dan ikut pula mendoakannya
“Ya Allah, sesungguhnya dia sering membuat kami tertawa, maka tertawakan dan bahagiakanlah dia,” begitulah doa Rasulullah SAW kepada Allah SWT untuk Suwaida’
Itulah gambaran tentang akhlak Rasulullah SAW dalam hal bergaul dengan sahabat-sahabatnya yang tentunya juga memiliki karakteristik yang suka membuat tertawa seperti Suwaida’ maupun yang memiliki keisengan seperti yang ditunjukkan oleh Nuaiman.
Rasulullah SAW sebagai pribadi dengan budi pekerti terbaik sehingga menjadi suri tauladan bagi kita tentunya banyak memberikan contoh kepada kita dalam hal bercanda dan tertawa (sesuatu yang seringkali kita lakukan dalam perjalanan hidup kita).
Tertawa Rasulullah SAW tidak terbahak-bahak apalagi dengan suara. Rasulullah SAW akan tertawa bila mendapatkan sesuatu yang membuatnya kagum, senang dan mendapatkan sesuatu yang mengundang tawa. Maksimal tertawanya Rasulullah SAW hanya kelihatan gigi gerahamnya dan sering menutup mulutnya dengan telapak tangan, sorban atau baju luar yang dikenakan saat tertawa.
Semoga bermanfaat untuk rekan Kompasioner dalam kita lebih mengenal sosok Rasulullah SAW yang kita cintai.
Rasulullah SAW pun pernah diisengi oleh sahabat beliau, bukan saja sekali tetapi kadang diulanginya di kesempatan lain. Nuaiman, yach itulah sahabat Rasulullah SAW yang pandai berkelakar serta menjahili Beliau dalam beberapa kesempatan.
Suatu ketika, Nuaiman membeli madu dari seorang Badui. Tanpa membayarnya, Nuaiman mengajak orang Badui tadi menghadap Rasulullah SAW dan menyerahkan madu tersebut kepada Beliau sebagai tanda hadiah, dan tanpa sepengetahuan Rasulullah SAW dan orang lain yang hadir Nuaiman berkatan kepada orang Badui tadi, “Mintalah bayarannya dari sini,”
Rasulullah SAW pun senang dengan hadiah pemberian Nuaiman dan kemudian membagikannya kepada yang hadir sampai habis. Sedangkan Orang Badui masih menunggu pembayaran madu yang dibeli Nuaiman namun hal tersebut tak kunjung diterimanya hingga akhirnya dia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW.
“Apa maduku tidak akan dibayar,” tanya orang Badui tadi kepada Rasulullah SAW
Mendengar pertanyaannya, Rasulullah SAW pun tersadar dan tak ada yang berani melakukan ini kecuali Nuaiman. Kemudian Rasulullah SAW menghampiri Nuaiman dan bertanya mengapa dia melakukan ini semua.
“Aku ingin berbuat baik kepadamu, tetapi aku tidak memiliki apa-apa,” jawab Nuaiman
Rasulullah SAW hanya tertawa mendengar jawaban Nuaiman dan langsung membayar madu tersebut kepada orang Badui tadi yang memang sudah habis dibagikan.
Kemudian dilain waktu, Nuaiman kembali menjahili Rasulullah SAW dan kali ini seorang Badui datang untuk bertemu dengan Rasulullah SAW dengan mengendarai onta yang tambatkan dihalam mesjid. Lalu beberapa sahabat yang ada dimesjid mengajukan usul kepada Nuaiman.
“Kalau kau mau menyembelih unta Badui ini, maka kita akan makan-makan. Kapan lagi kita makan daging bila tidak ada daging unta ini. Nanti Nabi yang akan menanggung harganya,”
Dasar Nuaiman yang memang memiliki sifat usil dan iseng, dia langsung menyembelih unta tersebut. Dan saat Badui tadi mau pulang betapa terkejut dirinya mendapatkan untanya sudah disembelih. Rasulullah SAW pun langsung bertanya kepada sahabat siapa yang melakukan ini, para sahabat pun serempak menjawab Nuaiman.
Lalu Rasulullah SAW mencari Nuaiman yang ternyata bersembunyi disebuah lubang yang ada dirumah Dhuba’ah binti Zubair, Rasulullah SAW yang menemukannya langsung menyuruh Nuaiman untuk keluar yang wajahnya penuh dengan debu.
“Apa yang mendorongmu melakukan perbuatan ini?” tanya Rasulullah SAW kepada Nuaiman
“Aku disuruh oleh orang-orang yang menunjukkan tempat persembunyianku ini,” jawab Nuaiman dengan polosnya
Rasulullah SAW langsung menghampiri Nuaiman dan membersihkan wajahnya yang dipenuhi debu sambil tertawa. Dan kali ini, Rasulullah SAW kembali terkena keisengan Nuaiman dan harus menanggung harga unta yang telah disembelihnya tersebut.
Nuaiman terkenal dengan keisengan dan gurauannya dikalangan pria, ada juga wanita yang terkenal lucu dan mampu membuat tertawa seisi rumah Rasulullah SAW yakni Suwaida’. Dan ketika mendapat kabar Suwaida’ sedang sakit, Rasulullah SAW langsung menjenguknya.
Dan ketika mendapatkan kabar Suwaida’ telah meninggal dunia, Rasulullah SAW turut menyalatkan dan ikut pula mendoakannya
“Ya Allah, sesungguhnya dia sering membuat kami tertawa, maka tertawakan dan bahagiakanlah dia,” begitulah doa Rasulullah SAW kepada Allah SWT untuk Suwaida’
Itulah gambaran tentang akhlak Rasulullah SAW dalam hal bergaul dengan sahabat-sahabatnya yang tentunya juga memiliki karakteristik yang suka membuat tertawa seperti Suwaida’ maupun yang memiliki keisengan seperti yang ditunjukkan oleh Nuaiman.
Rasulullah SAW sebagai pribadi dengan budi pekerti terbaik sehingga menjadi suri tauladan bagi kita tentunya banyak memberikan contoh kepada kita dalam hal bercanda dan tertawa (sesuatu yang seringkali kita lakukan dalam perjalanan hidup kita).
Tertawa Rasulullah SAW tidak terbahak-bahak apalagi dengan suara. Rasulullah SAW akan tertawa bila mendapatkan sesuatu yang membuatnya kagum, senang dan mendapatkan sesuatu yang mengundang tawa. Maksimal tertawanya Rasulullah SAW hanya kelihatan gigi gerahamnya dan sering menutup mulutnya dengan telapak tangan, sorban atau baju luar yang dikenakan saat tertawa.
Semoga bermanfaat untuk rekan Kompasioner dalam kita lebih mengenal sosok Rasulullah SAW yang kita cintai.
Selasa, 15 Januari 2019
Assalamualikum Warohmatullahi Wabarakatuh
Bismillah. Ingatlah wahai saudaraku seiman, bahwa harta benda sebanyak apapun yang kita miliki,jika diperoleh dengan cara yang haram atau tercampuri dengan harta hasil riba, maka akan menjadi bencana bagi kita di dunia dan akhirat.
Di antara bahaya dan bencana yang ditimbulkan oleh riba bagi pelakunya adalah sebagai berikut:
1. Hilangnya keberkahan pada harta.
Allah ta’ala berfirman:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)
2. Orang yang berinteraksi dengan riba akan dibangkitkan oleh Allah pada hari kiamat kelak dalam keadaan seperti orang gila.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)
3. Orang yang berinteraksi dengan riba akan disiksa oleh Allah dengan berenang di sungai darah dan mulutnya dilempari dengan bebatuan sehingga ia tidak mampu untuk keluar dari sungai tersebut.
Diriwayatkan dari Samuroh bin Jundub radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda menceritakan tentang siksaan Allah kepada para pemakan riba, bahwa “Ia akan berenang di sungai darah, sedangkan di tepi sungai ada seseorang (malaikat) yang di hadapannya terdapat bebatuan, setiap kali orang yang berenang dalam sungai darah hendak keluar darinya, lelaki yang berada di pinggir sungai tersebut segera melemparkan bebatuan ke dalam mulut orang tersebut, sehingga ia terdorong kembali ke tengah sungai, dan demikian itu seterusnya.”. (HR. Bukhari II/734 nomor 1979).
4. Allah tidak akan menerima sedekah, infaq dan zakat yang dikeluarkan dari harta riba.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu maha baik dan tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik.” (HR. Muslim II/703 nomor 1015, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu).
5. Do’a pemakan riba tidak akan didengarkan dan dikabulkan oleh Allah.
Di dalam hadits yang shohih, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menceritakan
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ».
Bahwa ada seseorang yang melakukan safar (bepergian jauh), kemudian menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a, “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku!” Akan tetapi makanan dan minumannya berasal dari yang haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan oleh barang yang haram. Maka bagaimana mungkin do’anya akan dikabulkan (oleh Allah)?”. (HR. Muslim II/703 no. 1015).
6. Memakan harta riba menyebabkan hati menjadi keras dan berkarat.
Allah ta’ala berfirman:
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)
Diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah di dalam jasad terdapat sepotong daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh badan. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh badan. Ketahuilah sepotong daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari 1/28 no. 52, dan Muslim III/1219 no.1599)
7. Badan yang tumbuh dari harta yang haram (hasil riba, korupsi, dan selainnya) akan berhak disentuh api neraka.
Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ka’ab bi ‘Ujroh radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram, akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. At-Tirmidzi II/512 no.614. dan dinyatakan Shohih Lighoirihi oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/150 no.1729).
8. Orang yang berinteraksi dengan Riba dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.
Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama (kedudukannya dalam hal dosa). (Diriwayatkan oleh Muslim III/1219 no. 1598).
9. Memakan Riba Lebih Buruk Dosanya daripada Perbuatan Zina.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui bahwa yang didalamnya adalah hasil riba, dosanya itu lebih besar daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih).
10. Paling Ringannya Dosa Memakan Riba itu Seperti Dosa Seseorang yang Menzinai Ibu Kandungnya Sendiri.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya).
Demikianlah beberapa bahaya dan bencana besar serta pengaruh buruk yang akan dirasakan oleh setiap orang yang berinteraksi dengan riba.
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita semua dari berbagai macam bentuk riba dan bahayanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita rezeki yang halal, banyak lagi penuh berkah. Amiin.
Bismillah. Ingatlah wahai saudaraku seiman, bahwa harta benda sebanyak apapun yang kita miliki,jika diperoleh dengan cara yang haram atau tercampuri dengan harta hasil riba, maka akan menjadi bencana bagi kita di dunia dan akhirat.
Di antara bahaya dan bencana yang ditimbulkan oleh riba bagi pelakunya adalah sebagai berikut:
1. Hilangnya keberkahan pada harta.
Allah ta’ala berfirman:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)
2. Orang yang berinteraksi dengan riba akan dibangkitkan oleh Allah pada hari kiamat kelak dalam keadaan seperti orang gila.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)
3. Orang yang berinteraksi dengan riba akan disiksa oleh Allah dengan berenang di sungai darah dan mulutnya dilempari dengan bebatuan sehingga ia tidak mampu untuk keluar dari sungai tersebut.
Diriwayatkan dari Samuroh bin Jundub radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda menceritakan tentang siksaan Allah kepada para pemakan riba, bahwa “Ia akan berenang di sungai darah, sedangkan di tepi sungai ada seseorang (malaikat) yang di hadapannya terdapat bebatuan, setiap kali orang yang berenang dalam sungai darah hendak keluar darinya, lelaki yang berada di pinggir sungai tersebut segera melemparkan bebatuan ke dalam mulut orang tersebut, sehingga ia terdorong kembali ke tengah sungai, dan demikian itu seterusnya.”. (HR. Bukhari II/734 nomor 1979).
4. Allah tidak akan menerima sedekah, infaq dan zakat yang dikeluarkan dari harta riba.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu maha baik dan tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik.” (HR. Muslim II/703 nomor 1015, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu).
5. Do’a pemakan riba tidak akan didengarkan dan dikabulkan oleh Allah.
Di dalam hadits yang shohih, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menceritakan
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ».
Bahwa ada seseorang yang melakukan safar (bepergian jauh), kemudian menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a, “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku!” Akan tetapi makanan dan minumannya berasal dari yang haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan oleh barang yang haram. Maka bagaimana mungkin do’anya akan dikabulkan (oleh Allah)?”. (HR. Muslim II/703 no. 1015).
6. Memakan harta riba menyebabkan hati menjadi keras dan berkarat.
Allah ta’ala berfirman:
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)
Diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah di dalam jasad terdapat sepotong daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh badan. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh badan. Ketahuilah sepotong daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari 1/28 no. 52, dan Muslim III/1219 no.1599)
7. Badan yang tumbuh dari harta yang haram (hasil riba, korupsi, dan selainnya) akan berhak disentuh api neraka.
Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ka’ab bi ‘Ujroh radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram, akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. At-Tirmidzi II/512 no.614. dan dinyatakan Shohih Lighoirihi oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/150 no.1729).
8. Orang yang berinteraksi dengan Riba dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.
Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama (kedudukannya dalam hal dosa). (Diriwayatkan oleh Muslim III/1219 no. 1598).
9. Memakan Riba Lebih Buruk Dosanya daripada Perbuatan Zina.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui bahwa yang didalamnya adalah hasil riba, dosanya itu lebih besar daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih).
10. Paling Ringannya Dosa Memakan Riba itu Seperti Dosa Seseorang yang Menzinai Ibu Kandungnya Sendiri.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya).
Demikianlah beberapa bahaya dan bencana besar serta pengaruh buruk yang akan dirasakan oleh setiap orang yang berinteraksi dengan riba.
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita semua dari berbagai macam bentuk riba dan bahayanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita rezeki yang halal, banyak lagi penuh berkah. Amiin.
Minggu, 18 November 2018
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
halo teman-teman semua pada kesempatan kali ini saya akan memberi tahu ciri-ciri orang yang munafik seperti yang kita ketahui, bahwa ciri orang munafik ada 3. Tetapi sebenarnya ada banyak kali ini sya akan menyebutkannya satu persatu.
Berikut ini adalah penjelasan lengkap mengenai 35 ciri-ciri orang munafik.
- Dusta
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menerangkan bahwa Allâh Azza wa Jalla telah membagi manusia ke dalam dua bagian, yakni orang yang jujur dan orang yang munafik. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Qur’an Surat al-Ahzab ayat 24 yang berbunyi:
لِّيَجۡزِيَ ٱللَّهُ ٱلصَّٰدِقِينَ بِصِدۡقِهِمۡ وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ إِن شَآءَ أَوۡ يَتُوبَ عَلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٢٤
Artinya:Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Ahzâb/33:24] (Baca juga: Jenis Ghibah yang Diperbolehkan dalam Islam)
- Khianat
Tindakan khianat ini dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Mu’minun Ayat 8 dan al-Anfaal ayat 27
وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ ٨
Artinya:Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (Q.S al-Mu’minun : 8)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٢٧
Artinya:Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. (Baca juga: Cara Mensyukuri Nikmat Allah SWT
3.afujur
Fujur adalah sebuah sifat tercela dimana seseorang yang emosinya berlebihan bahkan melampaui batas saat terjadi pertikaian dengan orang lain. Orang dengan ciri ini akan terus ingin menang dan tidak terima dengan kesalahannya sehingga menunjukkan sikap yang melampaui batas untuk menekan lawan tengkarnya. (Baca juga: Cara Mendidik Anak Perempuan Menurut Islam)- Ingkar Janji
Dalam Alquranpun telah dijelaskan mengenai janji yang harus ditepati dan tidak boleh diingkari.
Seperti yang tertuang dalam Surat an-Nahl ayat 91 yang berbunyi:
وَأَوۡفُواْ بِعَهۡدِ ٱللَّهِ إِذَا عَٰهَدتُّمۡ وَلَا تَنقُضُواْ ٱلۡأَيۡمَٰنَ بَعۡدَ تَوۡكِيدِهَا وَقَدۡ جَعَلۡتُمُ ٱللَّهَ عَلَيۡكُمۡ كَفِيلًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا تَفۡعَلُونَ ٩١
Artinya:Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q.S an-Nahl:91)
Kemudian dalam surat al-Isra’ ayat 34 yang berbunyi:
وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُۥۚ وَأَوۡفُواْ بِٱلۡعَهۡدِۖ إِنَّ ٱلۡعَهۡدَ كَانَ مَسُۡٔولٗا ٣٤
Artinya:Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Baca juga: Cara Bersyukur Menurut Islam)
- Malas Beribadah
إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمۡ وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلٗا ١٤٢
Artinya:Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.
Ayat ini menceritakan tentang bagaimana seseorang munafik yang pergi ke masjid atau surau, dengan berat hati ia seret kedua kakinya seakan-akan berat dan sangat sulit untuk berjalan karena terbelenggu rantai. Kemudian ketika ia sampai di dalam masjid atau surau dia malah memilih untuk duduk di shaf yang paling akhir tanpa mengetahui apa yang dibaca imam dalam sholat, apalagi untuk menyimak dan menghayatinya. (baca juga: Pamer dalam Islam )
- Riya
Perkara tentang Riya telah difirmankan oleh Allah dalam Qur’an Surat al-Maa’un ayat 4-7 yang berbunyi:
فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ ٤ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ ٥ ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ ٦ وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ ٧
Artinya:(4) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (5) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (6) orang-orang yang berbuat riya (7) dan enggan (menolong dengan) barang berguna (7) Sedikit Berzikir. (Baca juga: Cara Menghindari Riya)
- Mempercepat Sholat
Perkara ini juga telah diriwayatkan dalam sebuah hadis Nabi SAW yang pernah bersabda bahwa:
“Itulah sholat orang munafik, … lalu mempercepat empat rakaat (sholatnya)”
- Mencela Orang-Orang Yang Taat Dan Soleh
Sepanjang hidupnya ia sibuk mencemooh orang-orang sholeh yang dianggapnya selalu jelek dan berlebihan.
- Mengolok-Olok Al-Quran, As-Sunnah, Dan Rasulullah SAW
Walaupun mereka menganggapnya hanya sebagai candaan saja namun hal tersebut sudah termasuk kafir. Seperti firman Allah dalam Qur’an Surat at-Taubah ayat 65-66 yang berbunyi:
وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦
Artinya:(65) Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? (66) Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (Q.S. At-Taubah: 65-66)
- Bersumpah Palsu
Ia bahkan berani mengucap sumpah dengan menyertakan Demi Allah yang dilakukan semata-mata untuk menutupi kedustaannya. Dan jika ia ditegur atau dinasehati ia malah mengumpat, mengelak atau bahkan memfitnah orang lain supaya ia terbebas dari sangkaan atau dugaan terhadapnya.
Perkara tentang sumpah palsu ini telah dijelaskan dalam al-Qur’an Surat Al-Munafiqun ayat 2 dan Al-Mujadilah ayat 16 yang berbunyi:
ٱتَّخَذُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُمۡ جُنَّةٗ فَصَدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِنَّهُمۡ سَآءَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٢
Artinya:Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. al-Munafiqun:2)
ٱتَّخَذُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُمۡ جُنَّةٗ فَصَدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ فَلَهُمۡ عَذَابٞ مُّهِينٞ ١٦
Artinya:Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka halangi (manusia) dari jalan Allah; karena itu mereka mendapat azab yang menghinakan. (Al-Mujadilah:16). (Baca juga: Cara Menghindari Syirik)
11.Enggan Berinfak
Selain bersikap merugikan orang lain, orang-orang munafik juga sangat pelit dan tidak mau melakukan hal-hal yang bersifat berkorban untuk membantu orang lain apalagi yang sekiranya merugikan diri. ia hanya ingin untung sendiri dan tidak peduli dengan kerugian orang lain. Dan ia juga sangat hitung-hitungan bahkan menghindari terhadap hal-hal yang akan mengurangi kekayaan hartanya yang sebenarnya juga merupakan hak dari orang lain yang lebih membutuhkan. Jikapun mereka berinfak, maka hanya untuk kepentingan tertentu yang menjurus kepada riya’ maupun sum’ah.
Padahal infak sangat di anjurkan dan diperintahkan dengan jelas dalam alqur’an maupun dalam hadis. Seperti firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 254 ini yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا بَيۡعٞ فِيهِ وَلَا خُلَّةٞ وَلَا شَفَٰعَةٞۗ وَٱلۡكَٰفِرُونَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٢٥٤
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa´at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.
Kemudian dalam surat al-Hajj ayat 22 yang berbunyi:
كُلَّمَآ أَرَادُوٓاْ أَن يَخۡرُجُواْ مِنۡهَا مِنۡ غَمٍّ أُعِيدُواْ فِيهَا وَذُوقُواْ عَذَابَ ٱلۡحَرِيقِ ٢٢
Artinya:Setiap kali mereka hendak ke luar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya. (Kepada mereka dikatakan), “Rasailah azab yang membakar ini”
- Tidak Menghiraukan Nasib Sesama Kaum Muslimin
Hal inilah yang membuat barisan kekuatan para muslim menjadi lemah karena menjadi terpecah-belah akibat ketidak pedulian kepada sesame muslimnya.
- Sering menyebarkan dan melebih-lebihkan
- Mengingkari Takdir
- Mencaci Maki Kehormatan Orang-Orang Soleh
أَشِحَّةً عَلَيۡكُمۡۖ فَإِذَا جَآءَ ٱلۡخَوۡفُ رَأَيۡتَهُمۡ يَنظُرُونَ إِلَيۡكَ تَدُورُ أَعۡيُنُهُمۡ كَٱلَّذِي يُغۡشَىٰ عَلَيۡهِ مِنَ ٱلۡمَوۡتِۖ فَإِذَا ذَهَبَ ٱلۡخَوۡفُ سَلَقُوكُم بِأَلۡسِنَةٍ حِدَادٍ أَشِحَّةً عَلَى ٱلۡخَيۡرِۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَمۡ يُؤۡمِنُواْ فَأَحۡبَطَ ٱللَّهُ أَعۡمَٰلَهُمۡۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٗا ١٩
Artinya:Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Q.S. al-Ahzab:9)
- Sering Meninggalkan Sholat Berjamaah
- Membuat Kerusakan Di Muka Bumi Dengan Dalih Mengadakan Perbaikan
Hal ini telah dijelaskan dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 11-12 yang berbunyi:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ ١١ أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشۡعُرُونَ ١٢
(11) Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan” (12) Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (Al-Baqarah: 11-12) (Baca Juga: Pernikahan Beda Agama)- Tidak Sesuai Antara Zahir Dengan Bathin
- Takut Terhadap Kejadian Apa Saja
- Beruzur Dengan Dalih Dusta
وَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ ٱئۡذَن لِّي وَلَا تَفۡتِنِّيٓۚ أَلَا فِي ٱلۡفِتۡنَةِ سَقَطُواْۗ وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيطَةُۢ بِٱلۡكَٰفِرِينَ ٤٩
Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah”. Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir. (At-Taubah: 49)- Menyuruh Kemungkaran Dan Mencegah Kemakrufan
Ia terus mengajak orang-orang untuk menikmati hidup yang singkat dan Cuma sekali. Ia mengajak supaya orang-orang tidak terlalu larut dengan ibadah dan keagamaan yang menurutnya semu.
- Pelit
- Lupa Kepada Allah SWT
- Mendustakan Janji Allah SWT Dan Rasul-Nya
Hal ini dijelaskan dalam Qur’an surat al-Ahzab ayat 12 yang berbunyi:
وَإِذۡ يَقُولُ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ وَٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ مَّا وَعَدَنَا ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ إِلَّا غُرُورٗا ١٢
Artinya:Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya” (Al-Ahzab: 12) (Baca juga: Doa Menghadapi Orang Yang Membenci Kita)
- Lebih Memperhatikan Zahir, Mengabaikan Bathin
- Sombong Dalam Berbicara
- Tidak Memahami Ad Din
- Bersembunyi Dari Manusia Dan Menentang Allah Dengan Perbuatan Dosa
يَسۡتَخۡفُونَ مِنَ ٱلنَّاسِ وَلَا يَسۡتَخۡفُونَ مِنَ ٱللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمۡ إِذۡ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرۡضَىٰ مِنَ ٱلۡقَوۡلِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ بِمَا يَعۡمَلُونَ مُحِيطًا ١٠٨
Artinya:Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak redlai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. (An-Nisa’: 108) (Baca juga: Cara Menjauhic zina dalam islam)
- Senang Melihat Orang Lain Susah, Susah Bila Melihat Orang lain Senang
- Melalaikan sholat fardu
- Dengki
- Ghasab
- Memakan Harta Anak Yatim
- Tidak Membayar Hutang
- Memutus Silaturahmi
Demikianlah pembahasan mengenai sifat-sifat munafik yang harus kita hindari. Semoga artikel ini memberi manfaat positif bagi para pembaca sekalian.
Cara mudah mendapat uang dengan blogger
klik di sini
Selasa, 13 November 2018
halo guys pada kesempatan kali ini saya akan memberi tahu tentang adab-adab dalam bverhubungan suami istri dalam islam.Dalam sebuah relasi keluarga, menciptakan dan membina keluarga sakinah mawaddah warahmah tentunya menjadi harapan bagi seluruh manusia dan juga merupakan salah satu dari tujuan pernikahan di dalam Islam itu sendiri. Islam adalah agama yang indah dengan aturan dan syariat nya yang melingkupi keseluruhan aspek kehidupan manusia termasuk dalam pernikahan.
Etika islami dalam hubungan antara suami dengan istri dalam perspektif pandangan Islam adalah merupakan bagian dari ibadah bila diniatkan untuk beribadah dan juga melanjutkan keturunan dan sebagai cara yang halal dalam melampiaskan hasrat biologis insani bagi setiap manusia. Karena itulah pentingnya hubungan suami dengan istri sesuai dengan adab islami perlu diketahui oleh para suami maupun para istri agar kelanggengan hubungan dan cara menciptakan keharmonisan rumah tangga bisa diraih.
Dan melalui aturan terkait dengan hal ini atau dikenal dengan hubungan intim yang halal dan barokah adalah juga berpahala sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan dalam sebuah hadist berkaitan dengan hubungan diantara suami dengan istri dalam Islam yang artinya : "Dalam ke*****mu itu ada sedekah." Sahabat lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?." Rasulullah menjawab, "Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala." (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).
Itu adalah dalil bahwasannya adab berhubungan antara suami istri dalam Islam akan bisa membawakan pahala dan dianggap sebagai suatu ibadah yang di ridhoi Allah Ta'ala selama masih dalam koridor islami. Dan berhubungan seperti ini adalah sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah Sahallallahu 'alaihi wa sallam.
Etika islami dalam hubungan antara suami dengan istri dalam perspektif pandangan Islam adalah merupakan bagian dari ibadah bila diniatkan untuk beribadah dan juga melanjutkan keturunan dan sebagai cara yang halal dalam melampiaskan hasrat biologis insani bagi setiap manusia. Karena itulah pentingnya hubungan suami dengan istri sesuai dengan adab islami perlu diketahui oleh para suami maupun para istri agar kelanggengan hubungan dan cara menciptakan keharmonisan rumah tangga bisa diraih.
Dan melalui aturan terkait dengan hal ini atau dikenal dengan hubungan intim yang halal dan barokah adalah juga berpahala sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan dalam sebuah hadist berkaitan dengan hubungan diantara suami dengan istri dalam Islam yang artinya : "Dalam ke*****mu itu ada sedekah." Sahabat lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?." Rasulullah menjawab, "Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala." (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).
Itu adalah dalil bahwasannya adab berhubungan antara suami istri dalam Islam akan bisa membawakan pahala dan dianggap sebagai suatu ibadah yang di ridhoi Allah Ta'ala selama masih dalam koridor islami. Dan berhubungan seperti ini adalah sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah Sahallallahu 'alaihi wa sallam.
Minggu, 11 November 2018
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
hai teman-teman semua pada kesempatan kali ini saya akan membahas tentang adab-adab ketika buang hajat/buang air
Pertama: Menutup diri dan menjauh dari manusia ketika buang hajat.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar, beliau tidak menunaikan hajatnya di daerah terbuka, namun beliau pergi ke tempat yang jauh sampai tidak nampak dan tidak terlihat.”[1]
Kedua: Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah.
Seperti memakai cincin yang bertuliskan nama Allah dan semacamnya. Hal ini terlarang karena kita diperintahkan untuk mengagungkan nama Allah dan ini sudah diketahui oleh setiap orang secara pasti. Allah Ta’ala berfirman,
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32)
Ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, beliau meletakkan cincinnya.”[2] Akan tetapi hadits ini adalah hadits munkar yang diingkari oleh banyak peneliti hadits. Namun memang cincin beliau betul bertuliskan “Muhammad Rasulullah”.[3]
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Jika cincin atau semacam itu dalam keadaan tertutup atau dimasukkan ke dalam saku atau tempat lainnya, maka boleh barang tersebut dimasukkan ke WC. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Jika ia mau, ia boleh memasukkan barang tersebut dalam genggaman tangannya.” Sedangkan jika ia takut barang tersebut hilang karena diletakkan di luar, maka boleh masuk ke dalam kamar mandi dengan barang tersebut dengan alasan kondisi darurat.”[4]
Ketiga: Membaca basmalah dan meminta perlindungan pada Allah (membawa ta’awudz) sebelum masuk tempat buang hajat.
Ini jika seseorang memasuki tempat buang hajat berupa bangunan. Sedangkan ketika berada di tanah lapang, maka ia mengucapkannya di saat melucuti pakaiannya.[5]
Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia adalah jika salah seorang di antara mereka memasuki tempat buang hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah”.”[6]
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki jamban, beliau ucapkan: Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan[7]).”[8]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Adab membaca doa semacam ini tidak dibedakan untuk di dalam maupun di luar bangunan.”[9]
Untuk do’a “Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits”, boleh juga dibaca Allahumma inni a’udzu bika minal khubtsi wal khobaits (denga ba’ yang disukun). Bahkan cara baca khubtsi (dengan ba’ disukun) itu lebih banyak di kalangan para ulama hadits sebagaimana dikatakan oleh Al Qodhi Iyadh rahimahullah. Sedangkan mengenai maknanya, ada ulama yang mengatakan bahwa makna khubtsi (dengan ba’ disukun) adalah gangguan setan, sedangkan khobaits adalah maksiat.[10] Jadi, cara baca dengan khubtsi (dengan ba’ disukun) dan khobaits itu lebih luas maknanya dibanding dengan makna yang di awal tadi karena makna kedua berarti meminta perlindungan dari segala gangguan setan dan maksiat.
Keempat: Masuk ke tempat buang hajat terlebih dahulu dengan kaki kiri dan keluar dari tempat tersebut dengan kaki kanan.
Untuk dalam perkara yang baik-baik seperti memakai sandal dan menyisir, maka kita dituntunkan untuk mendahulukan yang kanan. Sebagaimana terdapat dalam hadits,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).”[11]
Dari hadits ini, Syaikh Ali Basam mengatakan, “Mendahulukan yang kanan untuk perkara yang baik, ini ditunjukkan oleh dalil syar’i, dalil logika dan didukung oleh fitrah yang baik. Sedangkan untuk perkara yang jelek, maka digunakan yang kiri. Hal inilah yang lebih pantas berdasarkan dalil syar’i dan logika.”[12]
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke tempat buang hajat dan kaki kanan ketika keluar, maka itu memiliki alasan dari sisi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan untuk hal-hal yang baik-baik. Sedangkan untuk hal-hal yang jelek (kotor), beliau lebih suka mendahulukan yang kiri. Hal ini berdasarkan dalil yang sifatnya global.”[13]
Kelima: Tidak menghadap kiblat atau pun membelakanginya.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.” Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun pada Allah Ta’ala.”[14] Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah. Namun kalau kita berada di Indonesia, maka berdasarkan hadits ini kita dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan diperintahkan menghadap ke utara atau selatan.
Namun apakah larangan menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat berlaku di dalam bangunan dan di luar bangunan? Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam dan di luar bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al Anshori di atas. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[15], Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani[16] dan pendapat terakhir dari Syaikh Ali Basam[17].
Adapun hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan,
“Aku pernah menaiki rumah Hafshoh karena ada sebagian keperluanku. Lantas aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan menghadap Syam.”[18] Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi kiblat ketika buang hajat. Maka mengenai hadits Ibnu ‘Umar ini kita dapat memberikan jawaban sebagai berikut.
Keenam: Terlarang berbicara secara mutlak kecuali jika darurat.
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
“Ada seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang kencing. Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak membalasnya.”[20]
Syaikh Ali Basam mengatakan, “Diharamkan berbicara dengan orang lain ketika buang hajat karena perbuatan semacam ini adalah suatu yang hina, menunjukkan kurangnya rasa malu dan merendahkan murua’ah (harga diri).” Kemudian beliau berdalil dengan hadits di atas.[21]
Syaikh Abu Malik mengatakan, “Sudah kita ketahui bahwa menjawab salam itu wajib. Ketika buang hajat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka ini menunjukkan diharamkannya berbicara ketika itu, lebih-lebih lagi jika dalam pembicaraan itu mengandung dzikir pada Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika seseorang berbicara karena ada suatu kebutuhan yang mesti dilakukan ketika itu, seperti menunjuki jalan pada orang (ketika ditanya saat itu, pen) atau ingin meminta air dan semacamnya, maka dibolehkan saat itu karena alasan darurat. Wallahu a’lam.”[22]
Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hati-hatilah dengan al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia)!” Para sahabat bertanya, “Siapa itu al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.”[23]
Kedelapan: Tidak buang hajat di air yang tergenang.
Dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang.”[24]
Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ar Rofi’i mengatakan, “Larangan di sini berlaku untuk air tergenang yang sedikit maupun banyak karena sama-sama dapat mencemari.”[25] Dari sini, berarti terlarang kencing di waduk, kolam air dan bendungan karena dapat menimbulkan pencemaran dan dapat membawa dampak bahaya bagi yang lainnya. Jika kencing saja terlarang, lebih-lebih lagi buang air besar. Sedangkan jika airnya adalah air yang mengalir (bukan tergenang), maka tidak mengapa. Namun ahsannya (lebih baik) tidak melakukannya karena seperti ini juga dapat mencemari dan menyakiti yang lain.[26]
Kesembilan: Memperhatikan adab ketika istinja’ (membersihkan sisa kotoran setelah buang hajat, alias cebok), di antaranya sebagai berikut.
1. Tidak beristinja’ dan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan.
Dalilnya adalah hadits Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah ia bernafas di dalam bejana. Jika ia buang hajat, janganlah ia memegang kemaluan dengan tangan kanannya. Janganlah pula ia beristinja’ dengan tangan kanannya.”[27]
2. Beristinja’ bisa dengan menggunakan air atau menggunakan minimal tiga batu (istijmar). Beristinja’ dengan menggunakan air lebih utama daripada menggunakan batu sebagaimana menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Ishaq.[28] Alasannya, dengan air tentu saja lebih bersih.
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan air adalah hadits dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk buang hajat, aku dan anak sebaya denganku datang membawa seember air, lalu beliau beristinja’ dengannya.”[29]
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan minimal tiga batu adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian ingin beristijmar (istinja’ dengan batu), maka gunakanlah tiga batu.”[30]
3. Memerciki kemaluan dan celana dengan air setelah kencing untuk menghilangkan was-was.
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu kali – satu kali membasuh, lalu setelah itu beliau memerciki kemaluannya.”[31]
Jika tidak mendapati batu untuk istinja’, maka bisa digantikan dengan benda lainnya, asalkan memenuhi tiga syarat: [1] benda tersebut suci, [2] bisa menghilangkan najis, dan [3] bukan barang berharga seperti uang atau makanan.[32] Sehingga dari syarat-syarat ini, batu boleh digantikan dengan tisu yang khusus untuk membersihkan kotoran setelah buang hajat.
Kesepuluh: Mengucapkan do’a “ghufronaka” setelah keluar kamar mandi.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa setelah beliau keluar kamar mandi beliau ucapkan “ghufronaka” (Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu).”[33]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Kenapa seseorang dianjurkan mengucapkan “ghufronaka” selepas keluar dari kamar kecil, yaitu karena ketika itu ia dipermudah untuk mengeluarkan kotoran badan, maka ia pun ingat akan dosa-dosanya. Oleh karenanya, ia pun berdoa pada Allah agar dihapuskan dosa-dosanya sebagaimana Allah mempermudah kotoran-kotoran badan tersebut keluar.”[34]
Demikian beberapa adab ketika buang hajat yang bisa kami sajikan di tengah-tengah pembaca sekalian. Semoga Allah memberi kepahaman dan memudahkan untuk mengamalkan adab-adab yang mulia ini. Semoga Allah selalu menambahkan ilmu yang bermanfaat yang akan membuahkan amal yang sholih.
lihat postingan lain di sini
hai teman-teman semua pada kesempatan kali ini saya akan membahas tentang adab-adab ketika buang hajat/buang air
Pertama: Menutup diri dan menjauh dari manusia ketika buang hajat.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar, beliau tidak menunaikan hajatnya di daerah terbuka, namun beliau pergi ke tempat yang jauh sampai tidak nampak dan tidak terlihat.”[1]
Kedua: Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah.
Seperti memakai cincin yang bertuliskan nama Allah dan semacamnya. Hal ini terlarang karena kita diperintahkan untuk mengagungkan nama Allah dan ini sudah diketahui oleh setiap orang secara pasti. Allah Ta’ala berfirman,
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32)
Ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, beliau meletakkan cincinnya.”[2] Akan tetapi hadits ini adalah hadits munkar yang diingkari oleh banyak peneliti hadits. Namun memang cincin beliau betul bertuliskan “Muhammad Rasulullah”.[3]
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Jika cincin atau semacam itu dalam keadaan tertutup atau dimasukkan ke dalam saku atau tempat lainnya, maka boleh barang tersebut dimasukkan ke WC. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Jika ia mau, ia boleh memasukkan barang tersebut dalam genggaman tangannya.” Sedangkan jika ia takut barang tersebut hilang karena diletakkan di luar, maka boleh masuk ke dalam kamar mandi dengan barang tersebut dengan alasan kondisi darurat.”[4]
Ketiga: Membaca basmalah dan meminta perlindungan pada Allah (membawa ta’awudz) sebelum masuk tempat buang hajat.
Ini jika seseorang memasuki tempat buang hajat berupa bangunan. Sedangkan ketika berada di tanah lapang, maka ia mengucapkannya di saat melucuti pakaiannya.[5]
Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia adalah jika salah seorang di antara mereka memasuki tempat buang hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah”.”[6]
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki jamban, beliau ucapkan: Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan[7]).”[8]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Adab membaca doa semacam ini tidak dibedakan untuk di dalam maupun di luar bangunan.”[9]
Untuk do’a “Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits”, boleh juga dibaca Allahumma inni a’udzu bika minal khubtsi wal khobaits (denga ba’ yang disukun). Bahkan cara baca khubtsi (dengan ba’ disukun) itu lebih banyak di kalangan para ulama hadits sebagaimana dikatakan oleh Al Qodhi Iyadh rahimahullah. Sedangkan mengenai maknanya, ada ulama yang mengatakan bahwa makna khubtsi (dengan ba’ disukun) adalah gangguan setan, sedangkan khobaits adalah maksiat.[10] Jadi, cara baca dengan khubtsi (dengan ba’ disukun) dan khobaits itu lebih luas maknanya dibanding dengan makna yang di awal tadi karena makna kedua berarti meminta perlindungan dari segala gangguan setan dan maksiat.
Keempat: Masuk ke tempat buang hajat terlebih dahulu dengan kaki kiri dan keluar dari tempat tersebut dengan kaki kanan.
Untuk dalam perkara yang baik-baik seperti memakai sandal dan menyisir, maka kita dituntunkan untuk mendahulukan yang kanan. Sebagaimana terdapat dalam hadits,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).”[11]
Dari hadits ini, Syaikh Ali Basam mengatakan, “Mendahulukan yang kanan untuk perkara yang baik, ini ditunjukkan oleh dalil syar’i, dalil logika dan didukung oleh fitrah yang baik. Sedangkan untuk perkara yang jelek, maka digunakan yang kiri. Hal inilah yang lebih pantas berdasarkan dalil syar’i dan logika.”[12]
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke tempat buang hajat dan kaki kanan ketika keluar, maka itu memiliki alasan dari sisi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan untuk hal-hal yang baik-baik. Sedangkan untuk hal-hal yang jelek (kotor), beliau lebih suka mendahulukan yang kiri. Hal ini berdasarkan dalil yang sifatnya global.”[13]
Kelima: Tidak menghadap kiblat atau pun membelakanginya.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.” Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun pada Allah Ta’ala.”[14] Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah. Namun kalau kita berada di Indonesia, maka berdasarkan hadits ini kita dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan diperintahkan menghadap ke utara atau selatan.
Namun apakah larangan menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat berlaku di dalam bangunan dan di luar bangunan? Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam dan di luar bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al Anshori di atas. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[15], Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani[16] dan pendapat terakhir dari Syaikh Ali Basam[17].
Adapun hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan,
“Aku pernah menaiki rumah Hafshoh karena ada sebagian keperluanku. Lantas aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan menghadap Syam.”[18] Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi kiblat ketika buang hajat. Maka mengenai hadits Ibnu ‘Umar ini kita dapat memberikan jawaban sebagai berikut.
- Pelarangan menghadap dan membelakangi kiblat lebih kita dahulukan daripada yang membolehkannya.
- Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat lebih didahulukan dari perbuatan beliau.
- Hadits Ibnu ‘Umar tidaklah menasikh (menghapus) hadits Abu Ayyub Al Anshori karena apa yang dilihat oleh Ibnu ‘Umar hanyalah kebetulan saja dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan adanya hukum baru dalam hal ini.[19]
Keenam: Terlarang berbicara secara mutlak kecuali jika darurat.
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
“Ada seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang kencing. Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak membalasnya.”[20]
Syaikh Ali Basam mengatakan, “Diharamkan berbicara dengan orang lain ketika buang hajat karena perbuatan semacam ini adalah suatu yang hina, menunjukkan kurangnya rasa malu dan merendahkan murua’ah (harga diri).” Kemudian beliau berdalil dengan hadits di atas.[21]
Syaikh Abu Malik mengatakan, “Sudah kita ketahui bahwa menjawab salam itu wajib. Ketika buang hajat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka ini menunjukkan diharamkannya berbicara ketika itu, lebih-lebih lagi jika dalam pembicaraan itu mengandung dzikir pada Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika seseorang berbicara karena ada suatu kebutuhan yang mesti dilakukan ketika itu, seperti menunjuki jalan pada orang (ketika ditanya saat itu, pen) atau ingin meminta air dan semacamnya, maka dibolehkan saat itu karena alasan darurat. Wallahu a’lam.”[22]
Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hati-hatilah dengan al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia)!” Para sahabat bertanya, “Siapa itu al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.”[23]
Kedelapan: Tidak buang hajat di air yang tergenang.
Dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang.”[24]
Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ar Rofi’i mengatakan, “Larangan di sini berlaku untuk air tergenang yang sedikit maupun banyak karena sama-sama dapat mencemari.”[25] Dari sini, berarti terlarang kencing di waduk, kolam air dan bendungan karena dapat menimbulkan pencemaran dan dapat membawa dampak bahaya bagi yang lainnya. Jika kencing saja terlarang, lebih-lebih lagi buang air besar. Sedangkan jika airnya adalah air yang mengalir (bukan tergenang), maka tidak mengapa. Namun ahsannya (lebih baik) tidak melakukannya karena seperti ini juga dapat mencemari dan menyakiti yang lain.[26]
Kesembilan: Memperhatikan adab ketika istinja’ (membersihkan sisa kotoran setelah buang hajat, alias cebok), di antaranya sebagai berikut.
1. Tidak beristinja’ dan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan.
Dalilnya adalah hadits Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah ia bernafas di dalam bejana. Jika ia buang hajat, janganlah ia memegang kemaluan dengan tangan kanannya. Janganlah pula ia beristinja’ dengan tangan kanannya.”[27]
2. Beristinja’ bisa dengan menggunakan air atau menggunakan minimal tiga batu (istijmar). Beristinja’ dengan menggunakan air lebih utama daripada menggunakan batu sebagaimana menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Ishaq.[28] Alasannya, dengan air tentu saja lebih bersih.
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan air adalah hadits dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk buang hajat, aku dan anak sebaya denganku datang membawa seember air, lalu beliau beristinja’ dengannya.”[29]
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan minimal tiga batu adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian ingin beristijmar (istinja’ dengan batu), maka gunakanlah tiga batu.”[30]
3. Memerciki kemaluan dan celana dengan air setelah kencing untuk menghilangkan was-was.
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu kali – satu kali membasuh, lalu setelah itu beliau memerciki kemaluannya.”[31]
Jika tidak mendapati batu untuk istinja’, maka bisa digantikan dengan benda lainnya, asalkan memenuhi tiga syarat: [1] benda tersebut suci, [2] bisa menghilangkan najis, dan [3] bukan barang berharga seperti uang atau makanan.[32] Sehingga dari syarat-syarat ini, batu boleh digantikan dengan tisu yang khusus untuk membersihkan kotoran setelah buang hajat.
Kesepuluh: Mengucapkan do’a “ghufronaka” setelah keluar kamar mandi.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa setelah beliau keluar kamar mandi beliau ucapkan “ghufronaka” (Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu).”[33]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Kenapa seseorang dianjurkan mengucapkan “ghufronaka” selepas keluar dari kamar kecil, yaitu karena ketika itu ia dipermudah untuk mengeluarkan kotoran badan, maka ia pun ingat akan dosa-dosanya. Oleh karenanya, ia pun berdoa pada Allah agar dihapuskan dosa-dosanya sebagaimana Allah mempermudah kotoran-kotoran badan tersebut keluar.”[34]
Demikian beberapa adab ketika buang hajat yang bisa kami sajikan di tengah-tengah pembaca sekalian. Semoga Allah memberi kepahaman dan memudahkan untuk mengamalkan adab-adab yang mulia ini. Semoga Allah selalu menambahkan ilmu yang bermanfaat yang akan membuahkan amal yang sholih.
lihat postingan lain di sini
Kamis, 08 November 2018
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Halo teman-teman semua setelah membahas adab-adab di dalam masjid,kali ini kita akan membahas tentang
Nabi Muhammad SAW lewat sunnahnya memberi perhatian yang serius terhadap kesehatan manusia.Sunnah Nabi menganggap keselamatan dan kesehatan sebagai nikmat Allah yang terbesar yang harus diterima dengan rasa syukur.
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
· Sehat dan sakit adalah dua bagian kehidupan manusia yang saling bertentangan serta tidak bisa kita hindari, karena keduanya memang merupakan bagian dari sunnatullah yang menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Allah menyatakan, "Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari kebesaran Allah,( Surah Al-Dzariyat ayat 49).
A. Konsep Hidup Sehat
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana cara menerapkan pola hidup sehat itu di dalam kehidupan kita masing-masing, berikut ini dapat kita ikuti beberapa terapi yang diajarkan oleh Islam kepada umat manusia:
Pertama, senantiasa memelihara kebersihan dzahir dan bathin. Kebersihan adalah pangkal kesehatan, Nabi Muhammad saw. pernah bersabda: Al-nadhafatu min al-iman (kebersihan itu sebagian dari iman). Yang paling esensial dari kebersihan diri itu adalah kebersihan hati, jiwa (qalb), dan pikiran (aql). Dalam berbagai kenyataan, kita sering menemukan ada saja di antara orang yang mudah berburuk sangka (su'udzan) atau suka curiga kepada orang lain. Bahkan ada yang sampai berburuk sangka kepada Allah, Na'udzu bi Allah min dzalik.
Dari lubuk hati yang bersih serta akal yang sehat, seseorang akan memperoleh kesehatan yang sempurna. Bukankah banyak orang yang mengalami gangguan kesehatan disebabkan oleh faktor tidak sehatnya kedua hal tersebut?Maka, tidak mengherankan jika para dokter menyarankan setiap pasiennya yang mengalami stres (ketegangan) untuk hidup secara teratur, mengurangi, bahkan tidak membebani diri dengan pikiran dan perasaan yang berat-berat.
Saran seperti itu, sebenarnya telah kita kenal sejak lama melalui konsepsi, al-'aql al-salim fi al-jism al-salim (akal yang sehat akan membuahkan jiwa yang sehat pula).
Di dalam banyak ayat Alquran, Allah mengisyaratkan betapa urgensnya kita memelihara kebersihan hati dan jiwa itu. Misal, firman-Nya, ”Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk hatinya” ( TQS Al-Tagabun 64:11). Hati yang tidak bersih akan sulit sekali untuk menerima petunjuk-petunjuk Allah, dan itu merupakan penyakit yang amat berbahaya.
Untuk menjaga kebersihan hati sekaligus menghindarkan dari hal seperti itu, maka Allah mengajari kita selalu bermohon kepada-Nya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi Karunia (TQS Ali 'Imran ayat 8).
Ke-dua, hendaknya kita mencari nafkah yang halal dan thayyib, kemudian mengonsumsinya pula secara yang halal dan baik.Nafkah yang halal bukanlah sesuatu yang semata-mata berhubungan dengan hasil jerih payah pekerjaan seseorang, melainkan juga berhubungan dari mana sumber dan dari mana kita memperolehnya.Sebab dalam banyak kenyataan, seringkali ada di antara kita berpikir "yang penting uang” tidak terpikirkan bagaimana dan apa akibat spiritualnya pernyataan seperti itu.
Mengenai petunjuk kehalalan dan kebaikan sesuatu yang hendak kita konsumsi itu, antara lain Allah mengisyaratkan bahwa: “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kita mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (TQS Al-Baqarah ayat 68). Sebagai contoh, daging yang baik untuk dikonsumsi antara lain dilihat dan ditentukan pula dari bagaimana proses penyembelihannya, apakah sesuai dengan ajaran Allah atau tidak (Alquran Surah Al-Maidah ayat 5).
Ketiga, memohon perlindungan dan kesehatan kepada Allah atas apa yang kita konsumsi. Setiap kali memulai kegiatan makan atau minum secara proporsional "makan dan minumlah, dan janganlah berlebihan.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan", demikian peringatan dari Allah swt. Kemudian, dahuluilah dengan permohonan kepada Allah, semoga apa yang hendak kita konsumsi itu, dijauhkan dari berbagai macam penyakit melainkan sebaliknya akan mendatangkan kesegaran dan kebugaran tubuh. Sebab pada dasarnya makan serta minum itu, bertujuan untuk menyehatkan tubuh dan mengganti sel-sel yang diperlukan oleh setiap organ tubuh.
Hakikat rezeki yang kita peroleh dan konsumsi itu dari Allah juga.Karenanya, pedoman dalam menciptakan pola konsumsi itu, misalnya Allah menyatakan harus proporsional (Alquran surah Al-A'raf ayat 31). Demikian pula Nabi Muhammad saw. memberi isyarat dan contoh untuk itu, misalnya, Makanlah pada saat lapar dan berhentilah sebelum kenyang.
Memang pola konsumsi masyarakat kita selama ini masih pada taraf makan untuk sekadar kenyang bukan untuk kesehatan.Kita makan tidak beraturan waktunya, dan lain-lain. Padahal kalau kita telusuri soal ini, maka dalam salah satu hadis Nabi Muhammad saw. riwayat Muslim dinyatakan, "Perut itu adalah tempatnya bersarang penyakit dan pengaturan makanan adalah obat utama. Maka, pantaslah jika kemudian beliau sering kali melaksanakan ibadah puasa sunah, yang selanjutnya perlu kita teladani, terutama setiap hari Senin dan Kamis.
Keempat, memelihara keteraturan hidup. Seringkali ada orang yang mudah terkena penyakit, karena penyebabnya ia tidak memiliki disiplin diri terhadap makan, tidur, istirahat, bekerja dan berolahraga. Umumnya masyarakat kita masih lebih mengutamakan tampilan lahiriah daripada pemenuhan gizi makanan dan kalau sudah sibuk bekerja sampai lupa jadwal makan.
Akibatnya lambung dan usus terganggu, maag, kekurangan gizi, dan sebagainya.Nanti memeriksakan kesehatannya pada waktu sakit.Padahal Islam menerapkan suatu perinsip al-wiqayat khayr mi al-ilaj (pencegahan lebih baik dari mengobati).
Kelima, perbanyak mengonsumsi buah-buahan, sayuran yang segar, serta sering meminum madu. Buah-buahan sering diibaratkan Allah SWT dengan "makanan surga".Mengapa?Dalam ayat ditemukan misalnya Allah menyatakan, "Dan Kami jadikan kepadanya kebun-kebun kurma dan anggur dan pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka.Maka mengapakah mereka tidak bersyukur (TQS Yaasin ayat 1-3).
Bahkan di dalam Al-Duhhan/44:55, Allah ta'ala berfirman, "Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran)."
Adapun madu, Allah menyatakan pula secara eksplisit bahwa madu itu adalah syifa (obat). Firman-Nya: “Kemudian makanlah dari (tiap-tiap macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada apa yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang yang mau memikirkan. (TQS An-Nahl ayat 69).
Keenam, hendaknya kita sering membaca dan mengikuti ajaran Alquran.Membaca Alquran adalah bagian dari zikir kepada Allah, sedangkan zikir mendatangkan ketenangan jiwa."Sesungguhnya dengan mengingat Allah, jiwa akan memperoleh ketenangan." (Alquran surah Al-Ra'd ayat 28, Alquran Surah Yunus ayat 57).
Namun dalam banyak hal, terkadang manusia baru menjadikan Alquran sebagai barang antik sehingga jarang disentuh apalagi untuk ditelaah isinya.Padahal kalam Allah itu adalah hudan (petunjuk) bagi hidup dan kehidupan umat manusia.Salah satu fungsinya, Alquran sebagai obat yang mujarab untuk mengobati penyakit, terutama kejiwaan seseorang yang dilanda rasa gundah gulana.
Kiranya dapat kita pahami bahwa secara umum Allah swt telah menyatakan bahwa semua penyakit ada obatnya.Seperti tersurat melalui pernyataan Nabi Ibrahim as.Bahwa, "Apabila aku (Ibrahim as) sakit, Dialah yang menyembuhkan aku" (TQS As-Syu'ara ayat 80).
Demikian halnya dengan penjelasan Rasulullah saw. bahwa, "Berobatlah, karena tiadalah suatu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya selain satu penyakit, yaitu ketuaan".
C. Tentang Semboyan “Dalam Tubuh yang Sehat tedapat Jiwa yang Sehat” Mensana incorpore sano; Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang. Semboyan ini sangat terkenal, sehingga banyak orang yang percaya begitu saja padanya, tanpa disertai sikap kritis sama sekali. Apakah setiap orang yang memiliki fisik yang baik dan sehat, otomatis jiwanya menjadi baik dan sehat pula?
Tidak ada penjelasan ilmiah sama sekali yang mendukung “kebenaran” semboyan ini. Justru banyak orang yang berfisik sehat dan kuat, namun jiwa mereka kotor (suka iri, dengki, pendendam, dan sebagainya), atau hidup mereka penuh dengan kegiatan maksiat. Dalam buku postmodernisme, di sana disebutkan bahwa falsafah Yunani saat ini demikian merasuki budaya hampir seluruh umat manusia. Dalam falsafah Yunani, unsur fisik manusia menempati posisi yang amat terhormat, bahkan lebih terhormat dari unsur spiritual.
Kita bisa mengumpulkan sejumlah fakta mengenai hal ini.Olimpiade (pesta olahraga sedunia) misalnya, berasal dari budaya Yunani.Stadion olahraga dan gymnasium pun berakar dari budaya Yunani.Kini, implementasi budaya Yunani ini dapat kita saksikan dari maraknya kegiatan kontes kecantikan, pemberian gelar “Pahlawan Bangsa” bagi para olahragawan yang berprestasi, dan masih banyak lagi.
Memang, Islam sama sekali tidak anti olahraga. Setiap orang tentu senang jika memiliki tubuh yang sehat, kuat, tak mudah terserang penyakit.Namun janganlah faktor fisik terlalu diagung-agungkan, seolah-olah tak ada yang lebih penting di dunia ini ketimbang kesehatan, keindahan, dan kekuatan fisik.Kita perlu menjaga kesehatan dan kekuatan fisik, yang tujuannya agar aktivitas ibadah kita semakin lancar. Jadi kita berolah raga pun diniatkan untuk ibadah
Orang yang selalu tawakal, berpikiran positif, dan selalu menjaga kesucian hatinya, Insya Allah pikirannya akan tenang, aliran darahnya lancar, dan jantungnya berdetak dengan normal. Sementara orang yang suka negative thinking, pendendam, iri, gampang emosi, jantungnya sering berdebar-debar, maka perasaannya jadi gelisah, dan metabolisme tubuhnya menjadi tidak teratur. Kondisi ini merupakan lahan subur bagi berkembangnya berbagai jenis penyakit.Kalau mau bukti, coba rasakan bagaimana kondisi tubuh Anda ketika Anda marah atau membenci seseorang.Rasakan bagaimana debaran jantung dan aliran darah Anda.Coba bandingkan dengan situasi ketika Anda tenang, tawakal, dan bersabar.
Jadi jelas bahwa kesehatan jiwalah yang bisa berpengaruh terhadap kesehatan fisik (bukan sebaliknya, sebagaimana tercermin pada semboyan Yunani Kuno di atas).Memang, jiwa yang sehat tidak bisa menjamin seratus persen bahwa fisik kita pun akan selalu sehat. Punya pikiran sehat tapi makanannya mengandung banyak kuman, dan rumah kotor tidak terawat, ya tetap saja tidak sehat.Tapi setidaknya, dengan menjaga kesehatan dan kesucian jiwa kita, Insya Allah dapat membantu meningkatkan kesehatan dan kekuatan fisik kita.
KESIMPULAN
Dengan menerapkan konsep hidup sehat menurut Islam ini, kita mampu menjadikannya sebagai pedoman dan terapi dalam upaya bersama untuk menyehatkan lingkungan.
Selain itu, juga untuk mempertahankan kesehatan diri dan meningkatkan kualitas hidup pribadi secara sempurna, sebagai bagian integral dari upaya menyehatkan bangsa menyongsong persaingan kualitas manusia pada abad ke-21 ini. Karena, bukanlah bangsa yang sehat dan kuat akan kita peroleh dari kesehatan dan kekuatan individu-individu anggota masyarakatnya sendiri.
Halo teman-teman semua setelah membahas adab-adab di dalam masjid,kali ini kita akan membahas tentang
SEHAT MENURUT ISLAM
Konsep Sehat Menurut Perspektif Islam
Konsep sehat dan kesehatan merupakan dua hal yang hampir sama tapi berbeda. Konsep sehat menurut Parkins (1938) adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dan berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya.Sementara menurut White (1977), sehat adalah suatu keadaan di mana seseorang pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda suatu penyakit dan kelainan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun mengembangkan defenisi tentang sehat.Pada sebuah publikasi WHO tahun 1957, konsep sehat didefenisikan sebagai suatu keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang berfungsi secara wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan yang dimiliki.Sementara konsep WHO tahun 1974, menyebutkan Sehat adalah keadaan sempurna dari fisik, mental, sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai ketahanan “jasmaniah, ruhaniyah dan sosial” yang dimiliki manusia sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan tuntunan-Nya, dan memelihara serta mengembangkannya.
Kesehatan Islam
Konsep tersebut ditinjau dari perspektif Islam yang mengacu dalam kitab suci Al Quran.Islam sangat memperhatikan kondisi kesehatan sehingga dalam Al Quran dan Hadits ditemui banyak referensi tentang sehat.Misalnya Hadits Bukhari yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda.“Dua nikmat yang sering tidak diperhatikan oleh kebanyakan manusia yaitu kesehatan dan waktu luang.”
Kosa kata “sehat wal afiat” dalam Bahasa Indonesia mengacu pada kondisi ragawi dan bagian-bagiannya yang terbebas dari virus penyakit.Sehat Wal Afiat ini dapat diartikan sebagai kesehatan pada segi fisik, segi mental maupun kesehatan masyarakat.
Menurut Dian Mohammad Anwar dari Foskos Kesweis (Forum Komunikasi dan Studi Kesehatan Jiwa Islami Indonesia), pengertian kesehatan dalam Islam lebih merujuk kepada pengertian yang terkandung dalam kata afiat. Konsep Sehat dan Afiat itu mempunyai makna yang berbeda kendati tak jarang hanya disebut dengan salah satunya, karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang terkandung dalam kata yang tidak disebut.Dalam kamus bahasa arab sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan dan afiat diartikan sebagai perlindungan Allah SWT untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipudaya. Perlindungan Allah itu sudah barang tentu tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi orang-orang yang mematuhi petunjuk-Nya.Dengan demikian makna afiat dapat diartikan sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Sesuai dengan Sunnah Nabi inilah maka umat Islam diajarkan untuk senantiasa mensyukuri nikmat kesehatan yang diberikan oleh Allah SWT.Bahkan bisa dikatakan Kesehatan adalah nikmat Allah SWT yang terbesar yang harus diterima manusia dengan rasa syukur.Bentuk syukur terhadap nikmat Allah karena telah diberi nikmat kesehatan adalah senantiasa menjaga kesehatan. Firman Allah dalam Al Quran, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Surah Ibrahim [14]:7).
Sebagai seorang Muslim, keyakinan atas kondisi sehat seseorang terkait takdir pula. Meski sudah berperilaku sehat, apabila Allah mentakdirkan ia sakit maka seseorang akan menderita kesakitan. Apabila seseorang ditakdirkan oleh Allah untuk sehat maka sehatlah ia. Janji Allah SWT dalam Surah Asy Syu’araa’ [26]: 78 – 82: “(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan Aku, Maka Dialah yang menunjuki Aku. Dan Tuhanku, yang Dia memberi Makan dan minum kepadaKu. Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku. Dan yang akan mematikan Aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali). Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”.
Sedangkan berdasarkan Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir dari Nabi SAW bersabda: Setiap penyakit pasti ada obatnya, apabila obatnya itu digunakan untuk mengobatinya, maka dapat memperoleh kesembuhan atas izin Allah SWT (HR. Muslim). Bahkan Allah SWT tidak akan menurunkan penyakit kecuali juga menurunkan obatnya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda: Allah SWT tidak menurunkan sakit, kecuali juga menurunkan obatnya (HR Bukhari).
Terkait dengan takdir, didalam Al Quran dikisahkan tentang Nabi Ayub yang ditimpa serangan penyakit pada hampir seluruh organ tubuhnya.Bagian tubuh yang tersisa dari serangan penyakit ketika itu adalah lidah dan hatinya.Pada saat terkena penyakit, Nabi Ayub pun kehilangan anak-anaknya dan harta benda yang dimilikinya sehingga menambah berat penderitaannya. Dengan lidah dan hati yang tersisa, seakan Allah SWT memberi jalan kepada Nabi Ayub untuk berzikir dengan lidahnya dan berdoa dalam hati memohon doa agar diridhoi untuk hidup sehat kembali. Akhirnya, dikisahkan Nabi Ayub pun sembuh seperti sediakala dan harta beserta keluarganya dikembalikan.
Kisah Nabi Ayub dalam Al Quran terdapat pada Surah Al Anbiyaa’ [21]:83-84, “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang”. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.
KONSEP SEHAT
Nabi Muhammad SAW lewat sunnahnya memberi perhatian yang serius terhadap kesehatan manusia.Sunnah Nabi menganggap keselamatan dan kesehatan sebagai nikmat Allah yang terbesar yang harus diterima dengan rasa syukur.
Firman Allah dalam Al Quran Surah Ibrahim [14]:7
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Bentuk syukur terhadap nikmat Allah melalui kesehatan ini adalah senantiasa menjaga kesehatan sesuai dengan sunnatullah.
Rasulullah bersabda.“Dua nikmat yang sering tidak diperhatikan oleh kebanyaka manusia yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas)
· Sehat dan sakit adalah dua bagian kehidupan manusia yang saling bertentangan serta tidak bisa kita hindari, karena keduanya memang merupakan bagian dari sunnatullah yang menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Allah menyatakan, "Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari kebesaran Allah,( Surah Al-Dzariyat ayat 49).
A. Konsep Hidup Sehat
Sehat (Arab"Al-shihah”), dalam Islam bukan hanya merupakan sesuatu yang berhubungan dengan masalah fisik (jasmani), melainkan juga menyangkut psikis (jiwa).
Karena itulah mengapa Islam memperkenalkan konsepsi al-Shihhah wa al-afiyat (lazim diucapkan sehat wal'afiat).
Maksud dari konsep itu yakni suatu kondisi sehat di mana seseorang mengalami kesehatan yang paripurna, jasmani, dan rohani atau fisik dan psikis. Jika makna sehat seluruhnya berhubungan dengan masalah fisik-ragawi, maka makna al-afiat ialah segala bentuk perlindungan Allah SWT untuk hamba-Nya dari segala macam tipu daya.Atau, menurut istilah Quraish Shihab ialah berfungsi bagi seluruh anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan pencipta-Nya.
Karena itulah mengapa Islam memperkenalkan konsepsi al-Shihhah wa al-afiyat (lazim diucapkan sehat wal'afiat).
Maksud dari konsep itu yakni suatu kondisi sehat di mana seseorang mengalami kesehatan yang paripurna, jasmani, dan rohani atau fisik dan psikis. Jika makna sehat seluruhnya berhubungan dengan masalah fisik-ragawi, maka makna al-afiat ialah segala bentuk perlindungan Allah SWT untuk hamba-Nya dari segala macam tipu daya.Atau, menurut istilah Quraish Shihab ialah berfungsi bagi seluruh anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan pencipta-Nya.
B. Penerapan Pola Hidup Sehat
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana cara menerapkan pola hidup sehat itu di dalam kehidupan kita masing-masing, berikut ini dapat kita ikuti beberapa terapi yang diajarkan oleh Islam kepada umat manusia:
Pertama, senantiasa memelihara kebersihan dzahir dan bathin. Kebersihan adalah pangkal kesehatan, Nabi Muhammad saw. pernah bersabda: Al-nadhafatu min al-iman (kebersihan itu sebagian dari iman). Yang paling esensial dari kebersihan diri itu adalah kebersihan hati, jiwa (qalb), dan pikiran (aql). Dalam berbagai kenyataan, kita sering menemukan ada saja di antara orang yang mudah berburuk sangka (su'udzan) atau suka curiga kepada orang lain. Bahkan ada yang sampai berburuk sangka kepada Allah, Na'udzu bi Allah min dzalik.
Dari lubuk hati yang bersih serta akal yang sehat, seseorang akan memperoleh kesehatan yang sempurna. Bukankah banyak orang yang mengalami gangguan kesehatan disebabkan oleh faktor tidak sehatnya kedua hal tersebut?Maka, tidak mengherankan jika para dokter menyarankan setiap pasiennya yang mengalami stres (ketegangan) untuk hidup secara teratur, mengurangi, bahkan tidak membebani diri dengan pikiran dan perasaan yang berat-berat.
Saran seperti itu, sebenarnya telah kita kenal sejak lama melalui konsepsi, al-'aql al-salim fi al-jism al-salim (akal yang sehat akan membuahkan jiwa yang sehat pula).
Di dalam banyak ayat Alquran, Allah mengisyaratkan betapa urgensnya kita memelihara kebersihan hati dan jiwa itu. Misal, firman-Nya, ”Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk hatinya” ( TQS Al-Tagabun 64:11). Hati yang tidak bersih akan sulit sekali untuk menerima petunjuk-petunjuk Allah, dan itu merupakan penyakit yang amat berbahaya.
Untuk menjaga kebersihan hati sekaligus menghindarkan dari hal seperti itu, maka Allah mengajari kita selalu bermohon kepada-Nya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi Karunia (TQS Ali 'Imran ayat 8).
Ke-dua, hendaknya kita mencari nafkah yang halal dan thayyib, kemudian mengonsumsinya pula secara yang halal dan baik.Nafkah yang halal bukanlah sesuatu yang semata-mata berhubungan dengan hasil jerih payah pekerjaan seseorang, melainkan juga berhubungan dari mana sumber dan dari mana kita memperolehnya.Sebab dalam banyak kenyataan, seringkali ada di antara kita berpikir "yang penting uang” tidak terpikirkan bagaimana dan apa akibat spiritualnya pernyataan seperti itu.
Mengenai petunjuk kehalalan dan kebaikan sesuatu yang hendak kita konsumsi itu, antara lain Allah mengisyaratkan bahwa: “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kita mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (TQS Al-Baqarah ayat 68). Sebagai contoh, daging yang baik untuk dikonsumsi antara lain dilihat dan ditentukan pula dari bagaimana proses penyembelihannya, apakah sesuai dengan ajaran Allah atau tidak (Alquran Surah Al-Maidah ayat 5).
Ketiga, memohon perlindungan dan kesehatan kepada Allah atas apa yang kita konsumsi. Setiap kali memulai kegiatan makan atau minum secara proporsional "makan dan minumlah, dan janganlah berlebihan.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan", demikian peringatan dari Allah swt. Kemudian, dahuluilah dengan permohonan kepada Allah, semoga apa yang hendak kita konsumsi itu, dijauhkan dari berbagai macam penyakit melainkan sebaliknya akan mendatangkan kesegaran dan kebugaran tubuh. Sebab pada dasarnya makan serta minum itu, bertujuan untuk menyehatkan tubuh dan mengganti sel-sel yang diperlukan oleh setiap organ tubuh.
Hakikat rezeki yang kita peroleh dan konsumsi itu dari Allah juga.Karenanya, pedoman dalam menciptakan pola konsumsi itu, misalnya Allah menyatakan harus proporsional (Alquran surah Al-A'raf ayat 31). Demikian pula Nabi Muhammad saw. memberi isyarat dan contoh untuk itu, misalnya, Makanlah pada saat lapar dan berhentilah sebelum kenyang.
Memang pola konsumsi masyarakat kita selama ini masih pada taraf makan untuk sekadar kenyang bukan untuk kesehatan.Kita makan tidak beraturan waktunya, dan lain-lain. Padahal kalau kita telusuri soal ini, maka dalam salah satu hadis Nabi Muhammad saw. riwayat Muslim dinyatakan, "Perut itu adalah tempatnya bersarang penyakit dan pengaturan makanan adalah obat utama. Maka, pantaslah jika kemudian beliau sering kali melaksanakan ibadah puasa sunah, yang selanjutnya perlu kita teladani, terutama setiap hari Senin dan Kamis.
Keempat, memelihara keteraturan hidup. Seringkali ada orang yang mudah terkena penyakit, karena penyebabnya ia tidak memiliki disiplin diri terhadap makan, tidur, istirahat, bekerja dan berolahraga. Umumnya masyarakat kita masih lebih mengutamakan tampilan lahiriah daripada pemenuhan gizi makanan dan kalau sudah sibuk bekerja sampai lupa jadwal makan.
Akibatnya lambung dan usus terganggu, maag, kekurangan gizi, dan sebagainya.Nanti memeriksakan kesehatannya pada waktu sakit.Padahal Islam menerapkan suatu perinsip al-wiqayat khayr mi al-ilaj (pencegahan lebih baik dari mengobati).
Kelima, perbanyak mengonsumsi buah-buahan, sayuran yang segar, serta sering meminum madu. Buah-buahan sering diibaratkan Allah SWT dengan "makanan surga".Mengapa?Dalam ayat ditemukan misalnya Allah menyatakan, "Dan Kami jadikan kepadanya kebun-kebun kurma dan anggur dan pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka.Maka mengapakah mereka tidak bersyukur (TQS Yaasin ayat 1-3).
Bahkan di dalam Al-Duhhan/44:55, Allah ta'ala berfirman, "Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran)."
Adapun madu, Allah menyatakan pula secara eksplisit bahwa madu itu adalah syifa (obat). Firman-Nya: “Kemudian makanlah dari (tiap-tiap macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada apa yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang yang mau memikirkan. (TQS An-Nahl ayat 69).
Keenam, hendaknya kita sering membaca dan mengikuti ajaran Alquran.Membaca Alquran adalah bagian dari zikir kepada Allah, sedangkan zikir mendatangkan ketenangan jiwa."Sesungguhnya dengan mengingat Allah, jiwa akan memperoleh ketenangan." (Alquran surah Al-Ra'd ayat 28, Alquran Surah Yunus ayat 57).
Namun dalam banyak hal, terkadang manusia baru menjadikan Alquran sebagai barang antik sehingga jarang disentuh apalagi untuk ditelaah isinya.Padahal kalam Allah itu adalah hudan (petunjuk) bagi hidup dan kehidupan umat manusia.Salah satu fungsinya, Alquran sebagai obat yang mujarab untuk mengobati penyakit, terutama kejiwaan seseorang yang dilanda rasa gundah gulana.
Kiranya dapat kita pahami bahwa secara umum Allah swt telah menyatakan bahwa semua penyakit ada obatnya.Seperti tersurat melalui pernyataan Nabi Ibrahim as.Bahwa, "Apabila aku (Ibrahim as) sakit, Dialah yang menyembuhkan aku" (TQS As-Syu'ara ayat 80).
Demikian halnya dengan penjelasan Rasulullah saw. bahwa, "Berobatlah, karena tiadalah suatu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya selain satu penyakit, yaitu ketuaan".
C. Tentang Semboyan “Dalam Tubuh yang Sehat tedapat Jiwa yang Sehat” Mensana incorpore sano; Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang. Semboyan ini sangat terkenal, sehingga banyak orang yang percaya begitu saja padanya, tanpa disertai sikap kritis sama sekali. Apakah setiap orang yang memiliki fisik yang baik dan sehat, otomatis jiwanya menjadi baik dan sehat pula?
Tidak ada penjelasan ilmiah sama sekali yang mendukung “kebenaran” semboyan ini. Justru banyak orang yang berfisik sehat dan kuat, namun jiwa mereka kotor (suka iri, dengki, pendendam, dan sebagainya), atau hidup mereka penuh dengan kegiatan maksiat. Dalam buku postmodernisme, di sana disebutkan bahwa falsafah Yunani saat ini demikian merasuki budaya hampir seluruh umat manusia. Dalam falsafah Yunani, unsur fisik manusia menempati posisi yang amat terhormat, bahkan lebih terhormat dari unsur spiritual.
Kita bisa mengumpulkan sejumlah fakta mengenai hal ini.Olimpiade (pesta olahraga sedunia) misalnya, berasal dari budaya Yunani.Stadion olahraga dan gymnasium pun berakar dari budaya Yunani.Kini, implementasi budaya Yunani ini dapat kita saksikan dari maraknya kegiatan kontes kecantikan, pemberian gelar “Pahlawan Bangsa” bagi para olahragawan yang berprestasi, dan masih banyak lagi.
Memang, Islam sama sekali tidak anti olahraga. Setiap orang tentu senang jika memiliki tubuh yang sehat, kuat, tak mudah terserang penyakit.Namun janganlah faktor fisik terlalu diagung-agungkan, seolah-olah tak ada yang lebih penting di dunia ini ketimbang kesehatan, keindahan, dan kekuatan fisik.Kita perlu menjaga kesehatan dan kekuatan fisik, yang tujuannya agar aktivitas ibadah kita semakin lancar. Jadi kita berolah raga pun diniatkan untuk ibadah
Orang yang selalu tawakal, berpikiran positif, dan selalu menjaga kesucian hatinya, Insya Allah pikirannya akan tenang, aliran darahnya lancar, dan jantungnya berdetak dengan normal. Sementara orang yang suka negative thinking, pendendam, iri, gampang emosi, jantungnya sering berdebar-debar, maka perasaannya jadi gelisah, dan metabolisme tubuhnya menjadi tidak teratur. Kondisi ini merupakan lahan subur bagi berkembangnya berbagai jenis penyakit.Kalau mau bukti, coba rasakan bagaimana kondisi tubuh Anda ketika Anda marah atau membenci seseorang.Rasakan bagaimana debaran jantung dan aliran darah Anda.Coba bandingkan dengan situasi ketika Anda tenang, tawakal, dan bersabar.
Jadi jelas bahwa kesehatan jiwalah yang bisa berpengaruh terhadap kesehatan fisik (bukan sebaliknya, sebagaimana tercermin pada semboyan Yunani Kuno di atas).Memang, jiwa yang sehat tidak bisa menjamin seratus persen bahwa fisik kita pun akan selalu sehat. Punya pikiran sehat tapi makanannya mengandung banyak kuman, dan rumah kotor tidak terawat, ya tetap saja tidak sehat.Tapi setidaknya, dengan menjaga kesehatan dan kesucian jiwa kita, Insya Allah dapat membantu meningkatkan kesehatan dan kekuatan fisik kita.
KESIMPULAN
Dengan menerapkan konsep hidup sehat menurut Islam ini, kita mampu menjadikannya sebagai pedoman dan terapi dalam upaya bersama untuk menyehatkan lingkungan.
Selain itu, juga untuk mempertahankan kesehatan diri dan meningkatkan kualitas hidup pribadi secara sempurna, sebagai bagian integral dari upaya menyehatkan bangsa menyongsong persaingan kualitas manusia pada abad ke-21 ini. Karena, bukanlah bangsa yang sehat dan kuat akan kita peroleh dari kesehatan dan kekuatan individu-individu anggota masyarakatnya sendiri.
Pengertian sehat menurut UU Pokok Kesehatan No. 9 tahun 1960, Bab I Pasal 2 adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan (jasmani), rohani (mental), dan sosial, serta bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Pengertian sehat tersebut sejalan dengan pengertian sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1975 sebagai berikut: Sehat adalah suatu kondisi yang terbebas dari segala jenis penyakit, baik fisik, mental, dan sosial.
Batasan kesehatan tersebut di atas sekarang telah diperbaharui bila batasan kesehatan yang terdahulu itu hanya mencakup tiga dimensi atau aspek, yakni: fisik, mental, dan sosial, maka dalam Undang- Undang N0. 23 Tahun 1992, kesehatan mencakup 4 aspek, yakni: fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan ekonomi. Batasan kesehatan tersebut diilhami oleh batasan kesehatan menurut WHO yang paling baru. Pengertian kesehatan saat ini memang lebih luas dan dinamis, dibandingkan dengan batasan sebelumnya. Hal ini berarti bahwa kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan sesuatu secara
|
Itulah sebabnya, maka kesehatan bersifat menyeluruh mengandung keempat aspek. Perwujudan dari masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan seseorang antara lain sebagai berikut:
1. Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan.
2. Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional, dan spiritual.
• Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran.
• Emosional sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.
• Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa (Allah SWT dalam agama Islam). Misalnya sehat spiritual dapat dilihat dari praktik keagamaan seseorang.
Dengan perkataan lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana seseorang menjalankan ibadah dan semua aturan-aturan agama yang dianutnya.
3. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai.
4. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi mereka yang belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan), dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan kemasyarakatan lainnya bagi usia lanjut.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai ketahanan “jasmaniah, ruhaniyah dan sosial” yang dimiliki manusia sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan tuntunan-Nya, dan memelihara serta mengembangkannya.
Islam sangat memperhatikan kondisi kesehatan sehingga dalam Al Quran dan Hadits ditemui banyak referensi tentang sehat.Misalnya Hadits Bukhari yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda.“Dua nikmat yang sering tidak diperhatikan oleh kebanyakan manusia yaitu kesehatan dan waktu luang.”
Sehat secara fisik dapat diartikan bahwa seluruh komponen tubuh manusia mampu menjalankan fungsinya dengan optimal (seimbang).Keseimbangan merupakan sunatullah alam semesta. Allah berfirman:
Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan payah. (QS 67: 1 – 4
Langganan:
Postingan (Atom)